Ketidakpastian penyelenggaraan ujian nasional (UN), setelah keputusan Mahkamah Agung (MA), cukup membuat siswa kebingungan. Annisa Visa Clansa (17 tahun), salah satunya. Gadis berkacamata ini merasa menjadi korban kesimpangsiuran informasi penyelenggaraan UN.
Visa mengaku UN akan tetap diselenggarakan pada Maret atau April 2010. Tapi setelah putusan MA, muncul informasi UN tak digelar lagi. "Harus ada kejelasan, daripada simpang siur kayak gini," kata siswi SMKN 3 Bogor ini, Rabu (2/12). Namun, Visa mengaku bagi dia lebih baik tidak ada UN.
Bima Prasetya (17 tahun) menyampaikan pandangan serupa. "Waktu SMP saya juga mengalami UN," katanya. Dia mengaku, masih berat dengan tekanan standar nilai yang diterapkan pada saat UN. "Dulu waktu SMP sih standarnya 5,00." ucapnya.
Dengan standar itu, Bima mengaku dia mendapat hasil yang cukup memuaskan. "Waktu SMP nilai UN saya cukup bagus, 22,2," terangnya. Meskipun begitu, dengan tingkat pendidikan yang berbeda, dia mengaku tetap tidak percaya diri. "Mending tidak ada (UN)," paparnya.
Kebingungan juga membayang di wajah Edo Milada Abidharma. siswa SMAN 1 Gresik, yang tahun depan hendak menghadapi kelulusan sekolah. Menurut Edo, saat ini siswa seangkatannya sedang berdebar-debar menunggu keputusan pemerintah antara menggelar UN atau tidak. Karena saat ini sedang terjadi pro dan kontra terkait dengan penyelenggaraan UN menyusul keputusan Mahkamah Agung (MA).
"Kalau tidak ada UN, kita lulus menggunakan standar ujian yang bagaimana? Apa mungkin kita lulus tetapi tidak lewat UN?" kata Edo. Lantaran kebingungannya, Edo pun mengaku aktif mengikuti kabar keputusan MA di media massa. Ia merasa lega saat Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), M Nuh, menyatakan akan tetap menggelar UN, meski tak menjadi penentu kelulusan.
"Bayangkan, di Ngawi, hampir seluruh siswanya tidak lulus. Bagaimana jika UN tetap diberlakukan seperti tahun lalu, kami semuanya bisa stres," keluhnya.Dia berharap, pemerintah mengevaluasi pelaksanaan UN agar dia dan teman-teman seangkatannya tidak menjadi korban UN yang dinilainya tidak mendidik tersebut. Karena, jika yang terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya, belajar yang ditempuhnya selama tiga tahun itu hanya ditentukan dalam beberapa jam saja.
"Masak tiga tahun hanya ditentukan dengan hitungan jam. Kami setuju jika kelulusan bukan hanya berdasarkan hasil UN seperti yang dikatakan Mendiknas di media massa itu," katanya.
Rizal, orang tua Edo, senada. Keputusan itu akan membesarkan hati orang tua dan siswa, karena hasil UN dan keputusan sekolah bisa dikompilasikan sehingga tidak mengurangi rasa keadilan dunia pendidikan. "Kami setuju pendapat Mendiknas, tapi harus ada kontrol," ujar Rizal.
Selain itu. dengan UN yang bukan penentu kelulusan, pemerintah dinilainya lebih mudah mendeteksi sekolah berkualitas. "Karena kelulusan diputuskan sekolah yang mengetahui kemampuan siswanya," tegasnya.
Seperti Edo. Zessy Devita Hutabarat (16 tahun), juga mengaku terus memantau berita-berita UN. Siswi Jurusan Akuntansi SMKN 13 Jakarta ini menilai UN saat ini memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya, ia bilang, UN dapat mengatrol indeks prestasi siswa Indonesia di antara negara-negara dunia lainnya. Buat Zessy, bila standar nilai UN tinggi, maka Indonesia tidak akan ketinggalan dengan negara lain.
Kelemahannya, di Indonesia masih banyak daerah tertinggal yang fasilitas pendidikannya masih minim. Zessy melihat ini tidak adil bagi para siswa daerah tertinggal, yang harus mengikuti ujian dengan standar sama dengan siswa di kota maju. Apa pun itu, Zessy merasa harus terus bersiap menghadapi UN.
Terkait kebingungan para siswa tersebut, Ketua PGRI DIY, Ahmad Zaenal Fanani SPd MA, mengatakan, UN tetap perlu ada. "Bukan sebagai alat kelulusan." ujarnya. Ia berpendapat nilai saat siswa kelas I sampai kelas III (untuk SMP dan SMA) juga diperhitungkan dengan nilai UN. Jadi, penentuan kelulusannya bukan hanya berdasar hasil UN saja.
Dengan cara tersebut, diharapkan tidak ada daerah yang melakukan kecurangan karena kalau kelulusan hanya didasarkan atas nilai hasil UN, maka ada daerah-daerah yang berupaya dengan segala cara agar daerahnya termasuk terbaik karena tingkat kelulusannya tinggi.
Pengamat pendidikan yang juga Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Rachmat Wahab PhD, mengatakan, banyak hal yang harus diperbaiki dalam penyelenggaraan ujian nasional. Selama ini standar kelulusan di seluruh Indonesia prinsipnya dipaksakan sama. Padahal, ada daerah-daerah yang kemampuannya berbeda-beda, ada yang masih rendah, sedang, dan tinggi.
Seharusnya ada kesepakatan standar kelulusan yang ukurannya provinsi dan tidak bisa disamaratakan. "Sehingga, apabila ada anak dari SMP favorit dengan standar kelulusan paling tinggi di kotanya, nilainya ternyata di bawah standar kelulusan di sekolah tersebut, tetapi termasuk tinggi di sekolah yang standar kelulusannya sedang, maka dia masih bisa masuk ke SMA yang standar kelulusannya sedang," jelas Rachmat.
Perbaikan lainnya adalah dalam penyelenggaraan ujian nasional harus dijamin kejujurannya di semua level. Mulai dari percetakan, pendistribusian, sampai pengawasannya. Pelaksanaan UN selama ini banyak yang tidak jujur.
Rachmat menyarankan mestinya sosialisasi kapan ujian nasional diselenggarakan harus jauh hari sebelum pelaksanaan, paling tidak pada awal tahun ajaran baru misalnya bulan Juli/Agustus.
Sosialisasi memadai atau tidak, yang jelas Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta tetap mempersiapkan pelaksanakan UN pada Maret 2010. "Kepastian pelaksanaan UN harus segera dilakukan, kalau tidak akan membingungkan siswa. Kalaupun UN ditiadakan pasti akan ada alternatif terbaik," ungkap Kepala Disdik DKI Jakarta. Taufik Yudhi.
Pada tahun ajaran 2008/2009. Taufik mengatakan tingkat kelulusan UN siswa mencapai 96 persen. Untuk tingkat SMP kelulusan mencapai 99.81 persen. Sementara untuk SMA tingkat kelulusan mencapai 96.72 persen. "Untuk UN tahun depan kita akan coba tingkatkan lagi angka kelulusannya," cetus Taufik.
Sementara Puti Guntur, anggota Komisi X dari FPDIP,mengatakan, Pasal 158 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa kelulusan ditentukan pula oleh guru dan sekolah. Karena itu, kata dia, FPDIP tidak menolak UN sebagai upaya standardisasi pendidikan. "Tapi, tetap harus mempertimbangkan faktor lain untuk kelulusan siswa," ujarnya.
Setidaknya, kata Puti, ada empat hal yang bisa dipakai untuk menentukan kelulusan siswa. Yaitu, lulus ujian sekolah, bernilai baik di mata pelajaran tertentu, telah menyelesaikan proses pembelajaran, dan kalau lulus ujian nasional jika Pemerintah tetap mengadakannya. "Tapi, penentu kelulusan adalah sekolah, yang paling tahu kondisi siswa," kata dia. Maka, berharaplah UN tak jadi penentu kelulusan.